JAWABAN UJIAN AKHIR
SEMESTER
MATA KULIAH
EKOLOGI HEWAN
Mata Kuliah
|
EKOLOGI
HEWAN
|
|
Dosen Pembina
|
HUSAMAH
S.Pd
|
|
Program Studi
|
PENDIDIKAN
BIOLOGI
|
|
Nama Mahasiswa dan NIM/Kelas
|
TEGAR
ISTRADA / 201110070311015 / 4 A
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
APRIL
2013
PETUNJUK
PENGERJAAN TAKE HOME
1.
Untuk memahami
soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu kemudian,
silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai dengan
pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki tingkat
kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
2.
Setiap jawaban
sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai dengan
pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda
gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah
maka akan ada nilai tambah.
3.
Perhatikan teknik
penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga menjadi
penilaian!
4.
Jawaban ini juga
harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan jawaban dengan
literatur maka ada nilai tambah.
SOAL
1.
Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan poikilotermik sangat berguna aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan
serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh
ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam
kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme
dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter
apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam
ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5.
Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring
kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik
pemanfaatannya!
6.
Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas
konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang
relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
JAWAB
1.
Suhu
dapat di pakai sebagai indikator tentang besarnya energi yang dikeluarkan oleh
organisme, untuk menghadapi cuaca yang sangat buruk (terlalu dingin
atau terlalu panas) hewan perlu menghemat energi dengan cara hibernasi atau
estivasi,
dalam kaitanya dengan organisme, prinsip dasar yang mengakibatkan suhu dapat
mengatur pertumbuhan dan penyebaran organisme adalah pada pengaruh fisik suhu
terhadap tubuh organisme, suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan enzim
dan protein lain, dapat menguapkan cairan tubuh, dapat merusak vitamin, dapat
merusak sel, jaringan dan organ, dapat juga merusak permeabilitas membran, dan
merusak hormon, sebaliknya suhu yang terlalu rendah dapat membekukan
protoplasma, dapat menghambat kerja enzim, menghambat kerja hormon dan menghambat
metabolisme. Poikiloterm merupakan organisme
yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh
luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Untuk
pertumbuhannya, hewan ektothermal memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan
faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal tidak dapat tumbuh dan berkembang
bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu
yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan ektothermal
memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat
waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya.
Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya
hewan ektothermal disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu fisiologis. Adanya fenomena Ulat bulu Di Probolinggo adanya faktor yang
menyebabkan merupakan curah hujan yang tinggi serta tidak seimbangnya ekosistem
rantai makanan di wilayah Probolinggo, sebagai contoh populasi burung pemakan
ulat kini jumlah banyaknya berkurang, selain itu faktor suhu dan waktu juga
andil mempengaruhi, di Probolinggo pada saat itu suhu yang diperlukan untuk
berkembang dan tumbuh sangat cocok untuk ulat bulu sebab ulat bulu memerlukan
suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya sehingga semakin singkat waktu
yang diperlukan untuk tumbuh kembang, Hal inilah yang menyebabkan meledaknya
populasi ulat bulu di Probolinggo.
2.
Pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi,
disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan
langka, Tinggi rendahnya jumlah individu
populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau
tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan
batasnya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin
dapat ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan
bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau.
Batas-batas Kerapatan Populasi, Dalam habitat alami yang ditempatinya,
kerapatan populasi suatu spesies hewan dapat berubah-ubah sejalan dengan waktu
dalam batas-batas tertentu. Batas atas kerapatan ditentukan oleh berbagai
faktor, seperti aliran energi atau produktivitas ekosistem, ukuran tubuh, laju
metabolisme, dan kedudukan tingkatan trofik spesies hewan. Batas bawah
kerapatan populasi belum diketahui dengan pasti. Namun, dalam ekosistem yang
stabil ada mekanisme homeostatis dalam populasi, yang diduga memegang peranan
penting dalam menentukan batas bawah kerapatan. Intensitas, Prevalensi, dan
Kelangkaan. Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang
berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan
aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies.
Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam
konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang
prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang
prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya
ditemui di tempat tertentu. Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu
dari empat kategori berikut:
prevalensi tinggi (=prevalen) dan
intensitasnya tinggi
prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi
intensitasnya rendah
prevalensi rendah (=terlokalisasi)
tetapi intensitasnya tinggi
prevalensi rendah (=terlokalisasi)
dan intensitasnya rendah.
Pengukuran tingkat populasi
Cara mengukur kelimpahan populasi suatu spesies hewan banyak
macamnya. Suatu metode dan teknik yang cocok bagi suatu spesies, belum tentu
cocok digunakan pada spesies lain. Faktor penentu penting dipilihnya suatu cara
yang cocok, adalah tujuan dan keperluan pengukuran, ukuran tubuh hewan,
mobilitas serta perilaku umum spesies tersebut. Juga ketersediaan waktu dan
tenaga serta keterampilan pelaksanaan pengukuran pun turut menentukan.
a. Pengukuran Kelimpahan Absolut: Pencacahan Total
b. Pengukuran Kelimpahan Absolut : Metoda-metoda Pencuplikan
c. Metode pencuplikan kuadrat
d. Metode menangkap-menandai-menangkap kembali
e. Metode pemindahan
Metode ini, hasil pengukurannya tidak menghasilkan suatu
angka taksiran mengenai besar populasi atau kerapatan populasi, melainkan hanya
suatu indeks mengenai kelimpahan populasi. Indeks kelimpahan ialah bahwa angka
indeks tersebut berkorelasi secara relatif konstan dengan angka besar populasi
yang sebenarnya atau dengan angka kerapatan populasinya. Besarnya konstanta
korelasi tidak diketahui secara pasti.Informasi mengenai kelimpahan relatif
berguna untuk mendeteksi terjadinya perubahan besar, mengenai naik turunnya
kelimpahan populasi suatu spesies hewan di suatu tempat.
Informasi mengenai kelimpahan relatif berguna untuk
mendeteksi terjadinya perubahan besar, mengenai naik turunnya kelimpahan
populasi suatu spesies hewan di suatu tempat.
Beberapa teknik dan metode penentuan
kelimpahan relatif:
- Penggunaan perangkap.
- Penggunaan jala. Jala serangga, tebar, kabut dll.
3.
Simbiosis parasitisme ialah hubungan
dua makhluk yang salah satu diuntungkan dan pihak yang lain dirugikan pada
suatu komunitas, Organisme yang mendapat keuntungan disebut parasit dan organisme
yang menjadi tempat hidup parasit yakni inang, sebagai contoh Kutu dengan
Kerbau sebagai inangnya kutu mendapatkan keuntungan dengan menghisap darah
inangnya, Kerbau sebagai inang dirugikan karena darah di ambil oleh kutu,
terdapat interaksi antar populasi.
Simbiosis parasitoidisme
adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku
bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk
insecta dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup
bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat
insecta lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu
inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang
tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi
seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut
sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan
inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang
berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu
hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan
individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan
kematian segera atas inang (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan
kematian segera atas inang (Seperti parasit dan juga “Grazers”), tetapi juga
dapat menyebabkan kematian (seperti pemangsa).
Sumber :
4.
Nilai sikap dan karakter yang harus
ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan,
Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang
rasional antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan sumber daya alam
yang dapat diperbaharui dengan hati-hati dan efisien, misalnya: air, tanah, dan
udara. 2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran). 3.
Mengembangkan metoda menambang dan memproses yang efisien, serta pendaurulangan
(recycling). 4. Melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara
damai dengan alam.
Sebagai contoh Perburuan hewan
secara liar dan pada hewan yang dilindungi atau hewan yang hamper punah,
menangkap ikan di sungai, danau, maupun laut dengan menggunakan bahan peledak,
listrik, atau racun akan mematikan seluruh jenis ikan.
Dalam pengelolaan lingkungan hidup kita juga membutuhkan
moralitas yang berarti kemampuan kita untuk dapat hidup bersama makhluk hidup
yang lain dalam suatu tataran yang saling membutuhkan, saling tergantung,
saling berelasi dan saling memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan
kebersamaan hidup yang harmonis. Refleksi moral akan menolong manusia untuk
membentuk prinsip-prinsip yang dapat mengembangkan relasi manusia dengan
lingkungan hidupnya. Manusia harus menyadari ketergantungannya pada struktur
ekosistem untuk dapat mendukung kehidupannya itu sendiri. Manusia harus dapat
beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan berkembang
(Mateus dalam Sunarko dan Kristiyanto, 2008)
Sumber :
(http://ridwanaz.com/umum/biologi/pengertian-sumber-daya-alam-macam-sda-dan-jenisnya/)
Sunarko dan Kristiyanto, E, 2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi : Tinjauan Teologis atas Lingkungan
Hidup. Kanisius, Yogyakarta.
5.
Secara umum lingkungan hidup dapat
di bagi 2, yaitu sebagai berikut: Lingkungan Biotik
Lingkungan biotik (lingkungan organik) merupakan komponen
makhluk hidup yang menghuni planet bumi, terdiri atas mikroorganisme, seperti
bakteri dan virus, tumbuhan, hewan, dan manusia.
Secara khusus, lingkungan biotik diklasifikasikan menjadi:
1) produsen, dalam hal ini tumbuhan yang memproduksi sumber
bahan makanan bagi makhluk hidup lainnya; 2) konsumen, yaitu hewan serta
manusia; dan
3) pengurai, yang merupakan mikroorganisme yang merombak dan
menghancurkan sisa-sisa organisme yang telah mati. Termasuk ke dalam kelompok
pengurai adalah jamur, bakteri, dan cacing tanah.
Lingkungan Abiotik
Lingkungan abiotik adalah segala kondisi yang terdapat di
sekitar makhluk hidup yang bukan organisme hidup, antara lain adalah batuan,
tanah, mineral dan sinar matahari, lingkungan ini disebut juga lingkungan
anorganik. Lingkungan abiotik merupakan kondisi yang terdapat di sekeliling
makhluk hidup berupa benda mati (unsur anorganik), seperti batuan, tanah,
mineral, dan udara. Lingkungan abiotik dinamakan juga lingkungan anorganik.
Dalam sudut pandang ekologi manusia, yaitu ilmu yang
mempelajari dan menganalisis hubungan timbal balik (interaksi dan interelasi)
antara manusia dan lingkungannya, unsur lingkungan hidup itu dibedakan atas
tiga kelompok utama, yaitu lingkungan alam (lingkungan fisik), sosial, dan
budaya. 1) Lingkungan alam merupakan kondisi alamiah suatu wilayah yang
meliputi kondisi iklim, tanah, fisiografi, dan batuan. 2) Lingkungan sosial
adalah manusia dengan semua aktivitas dan karakternya, baik sebagai individu
atau pribadi maupun makhluk sosial.3) Lingkungan budaya adalah benda-benda
hasil daya cipta manusia, seperti bangunan, karya seni, sistem kepercayaan, dan
tatanan kelembagaan sosial.
Dalam kenyataan sehari-hari, ketiga unsur lingkungan hidup
tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi memiliki keterkaitan dalam bentuk
interaksi dan interelasi antara satu komponen dan komponen lainnya. Perubahan
yang terjadi pada suatu komponen dampaknya akan dirasakan oleh komponen lain.
Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah indikator
biologis perlu diketahui dan ditentukan. Indikator biologis, dalam hal ini
merupakan petunjuk ada-tidaknya kenaikan keadaan lingkungan dari garis dasar,
melalui analisis kandungan logam atau kandungan senyawa kimia tertentu yang
terdapat di dalam hewan, atau suatu hasil dari hewan (susu, keju) pada ternak
sapi. Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan atau tanaman yang terletak
pada daur pencemaran lingkungan sebelum sampai kepada manusia.
Sumber :
6.
Relung ekologi suatu hewan (
individu, populasi) adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang
ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi, struktural dan pola
perilakunya ( Sukarsono, 2009).
Sebagai contoh Bos Sondaicus (Banteng) termasuk hewan
langka.
Bos javanicus, adalah hewan yang sekerabat dengan sapi dan
ditemukan di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kalimantan, Jawa, and
Bali. Banteng tumbuh hingga tinggi sekitar 1,6 m di bagian pundaknya dan
panjang badan 2,3 m. Berat banteng jantan biasanya sekitar 680 – 810 kg –
jantan yang sangat besar bisa mencapai berat satu ton – sedangkan betinanya
memiliki berat yang lebih kecil. Banteng memiliki bagian putih pada kaki bagian
bawah, punuk putih, serta warna putih disekitar mata dan moncongnya ilmiah:
Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Artiodactyla;
Famili: Bovidae; Upafamili: Bovinae; Genus: Bos; Spesies: Bos javanicus. Nama
binomial: Bos javanicus.
Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah
dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya
tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut.
Kelangkaan suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau
beberapa penyebab berikut dan untuk melakukan konservasi terhadap relung
spesies Bos Sondaicus (Banteng) kita harus mencegah dan menghindari faktor –
faktor penyebabnya antara lain :
• Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu
habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah
teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut.
• Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan
kepunahan lokal dari spesies tersebut.
• Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni
dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya
pemencaran (dispesal) spesies hewan.
• Tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni, menjadi
tidak dapat ditempati akibat kehadiran spesies lain yang merupakan pesaing,
parasit atau predatornya. Dalam area yang dapat dihuni, ketersedian sumber daya
penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak menjadi berkurang.
• Variasi genetik spesies relatif sempit sehingga kisaran
tempat yang dapat dihuninya pun terbatas.
• Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga
kisaran tempat yang dapat diuninya pun terbatas.
Sumber :
Sukarsono.2009. Pengantar
Ekologi Hewan. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar