Pendederan udang galah dengan teknologi sistem air tertutup dapat meningkatkan produksi dan bersifat ramah lingkungan karena irit penggunaan air. |
Wajah murung Nana Sutisna (33 tahun) tidak bisa disembunyikan saat dijumpai Majalah Sains Indonesia di dekat kolam udang galah miliknya di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pekan lalu. Betapa tidak, dari 17.000 udang hatchery yang dimasukkan ke kolamnya hanya tersisa 250 ekor benur saja.
Nana menuding kualitas air dan hewan pemangsa sebagai penyebab tingginya angka kematian benur udang di kolamnya. Faktor lain adalah pergantian musim yang menyebakan munculnya beragam penyakit ikut mempengaruhi.
Menurut Kepala Pusat Pengkajian dan Perkayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan (P3TKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Aryo Hanggono, frekuensi hujan yang tinggi seperti halnya terjadi pada bulan Desember mengakibatkan turbulensi air. Turbulensi air menyebabkan air besera lumpur dari dasar kolam/tambak terangkat ke atas (up weeling). Lumpur kotor tersebut tentu saja membuat udang stress dan terjadi kematian massal.
“Itulah mengapa pada bulan Desember angka kematian benur udang galah hasil pendederan atau biasa disebut udang tokolan sangat tinggi,” ujar Aryo.
Peneliti senior dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Gede Swantika mengatakan, masa paling rawan bagi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah masa pendederan (nursery). Waktu paling rawan terjadi pada periode post larva hingga menjadi benur, yakni ukuran siap tebar ke kolam atau tambak untuk pembesaran. Pada periode itu, tingkat kematian benur sangat tinggi.
Teknologi Zero Water Discharge/ZWD atau sistem air tertutup yang dikembangkan P3TKP Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB itu merupakan teknologi untuk meminimalisir pengaruh alam dan lingkungan agar angka kematian lebih rendah. “Disinilah peran teknologi sistem air tertutup diharapkan mampu meminimalisir angka kematian,” ujar Gede.
Hasil awal uji coba teknologi ini, menurut Aryo, memang belum memuaskan. Tingkat kematian udang tokolan masih sangat tinggi meski terjadi peningkatan tingkat kehidupan (survivle rate) tokolan dari 1,5 persen menjadi 4,5 persen.
Masih tingginya angka kematian benur, menurut Aryo, diduga karena persoalan genetik. Cara in breeding yang dilakukan akan menghasilkan benih udang yang relatif homogen secara genetik. Minimnya upaya kawin silang atau cross breeding membuat benih yang dihasilkan memiliki daya imunitas rendah sehingga gampang mati.
“Kami akan lakukan karantina terlebih dahulu sebelum benih dilepas ke kolam pendederan. Sehingga yang didederkan hanya benih yang unggul kualitasnya saja. Dari situ baru kita ketahui tingkat efektivitas sistem air tertutup ini,” ujar Aryo.
Dengan melakukan karantina, nantinya benih ukuran post larva yang tersisa dan siap untuk didederkan hanyalah benih yang kualitas bagus dengan ukuran realtif seragam. Kombinasi benih berkualitas dan sistem tertutup yang dilakukan akan menghasilkan benur udang yang bagus, ujar peneliti senior pada Balitbang Kelautan dan Perikanan itu.
Artikel selengkapnya bisa anda baca di Majalah SAINS Indonesia Edisi 03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar